CONTOH KEGIATAN EKONOMI MIKRO DI INDONESIA
Sejumlah pabrik tempe menyempil tak beraturan merentengi gang-gang di Desa Lambusa, Kecamatan Konda, Kabupten Konawe Selatan. Oleh pemerintah, usaha tersebut diposisikan sebagai jenis usaha rumah tangga, tak lain adalah bagian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Waktu menunjukkan pukul 09.48 WITA, Sugiarto, salah seorang perajin tempe di daerah tersebut tengah sibuk menyaring kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tempe. Menurut Sugiarto, jumlah perajin tempe di daerah tersebut mulai berkurang jika dibandingkan beberapa tahun silam. Perajin tempe perlahan lenyap terkikis waktu. Pemicunya, pemerintah masih acuh tak acuh kepada pelaku UMKM.
“Dulu sebenarnya, banyak (perajin tempe) di daerah ini, tetapi sekarang tinggal sedikit karena banyak yang bangkrut. Awal-awalnya sih, sekitar 2008, kalau harga kedelai naik, pasti ada bantuan subsidi dari pemerintah. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi,” kisah Sugiarto saat ditemui Rakyat Sultra beberapa waktu lalu.
Tak hanya Sugiarto, perajin tempe lainnya, Lasyem, juga melontarkan hal senada. Menurutnya, bukan hal yang tidak mungkin jika sejumlah perajin tempe masih akan mengalami kebangkrutan jika tidak mendapakan perhatian segera dari pemerintah.
Miris memang. Badan Pusat Statistik Sultra, melalui rilisnya, Jumat (1/11) kemarin, mencatat, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil di Sultra pada kuartal ketiga 2013 mengalami penurunan sebesar 2,81 persen. Artinya, UMKM Sultra kian gontai.
Data dekadensi ini pun menjadi bukti dan sekelumit fakta yang mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah terhadap UMKM.
Sementara itu, Sekertaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Pengusaha Kecil dan Mikro Indonesia (HIPMIKINDO) Provinsi Sultra, Laode Arifin, membenarkan hal tersebut. Arifin menilai, pemerintah masih perlu memberikan perhatian yang lebih kepada UMKM.
“UMKM kita saat ini masih sulit berkembang. Salah satu penyebabnya, karena sulitnya mengakses modal. Harusnya pemerintah mampu memberikan perhatian terhadap kondisi ini,” kata Arifin saat ditemui di kediamannya di bilangan jalan Martandu, Kota Kendari, belum lama ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPD RI, Laode Ida, menegaskan, pemerintah harus mengeluarkan regulasi khusus untuk meningkatkan kualitas dan daya saing UMKM. Tujuannya, antara lain untuk memperkuat ekonomi domestik.
“Pada dasarnya, ekonomi kita secara makro tidak bisa diragukan. Tetapi sebaliknya, ekonomi mikro kita masih perlu mendapatkan perhatian khusus, utamanya pada sisi Sumber Daya Manusia (SDM),” kata Laode Ida.
Data terakhir yang dihimpun Rakyat Sultra, jumlah UMKM di Sultra saat ini hanya 11 ribu unit. Pemerintah pun, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sultra, juga membenarkan jika beberapa UMKM telah gulung tikar.
“Beberapa UMKM binaan telah behenti operasi,” kata Kepala Bidang Usaha Kecil dan Menengah Disperindag Sultra, Sapoan, meskipun tidak menyebutkan secara pasti jumlah UMKM yang telah menjadi “almarhum”.
Sejumlah pabrik tempe menyempil tak beraturan merentengi gang-gang di Desa Lambusa, Kecamatan Konda, Kabupten Konawe Selatan. Oleh pemerintah, usaha tersebut diposisikan sebagai jenis usaha rumah tangga, tak lain adalah bagian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Waktu menunjukkan pukul 09.48 WITA, Sugiarto, salah seorang perajin tempe di daerah tersebut tengah sibuk menyaring kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tempe. Menurut Sugiarto, jumlah perajin tempe di daerah tersebut mulai berkurang jika dibandingkan beberapa tahun silam. Perajin tempe perlahan lenyap terkikis waktu. Pemicunya, pemerintah masih acuh tak acuh kepada pelaku UMKM.
“Dulu sebenarnya, banyak (perajin tempe) di daerah ini, tetapi sekarang tinggal sedikit karena banyak yang bangkrut. Awal-awalnya sih, sekitar 2008, kalau harga kedelai naik, pasti ada bantuan subsidi dari pemerintah. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi,” kisah Sugiarto saat ditemui Rakyat Sultra beberapa waktu lalu.
Tak hanya Sugiarto, perajin tempe lainnya, Lasyem, juga melontarkan hal senada. Menurutnya, bukan hal yang tidak mungkin jika sejumlah perajin tempe masih akan mengalami kebangkrutan jika tidak mendapakan perhatian segera dari pemerintah.
Miris memang. Badan Pusat Statistik Sultra, melalui rilisnya, Jumat (1/11) kemarin, mencatat, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil di Sultra pada kuartal ketiga 2013 mengalami penurunan sebesar 2,81 persen. Artinya, UMKM Sultra kian gontai.
Data dekadensi ini pun menjadi bukti dan sekelumit fakta yang mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah terhadap UMKM.
Sementara itu, Sekertaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Pengusaha Kecil dan Mikro Indonesia (HIPMIKINDO) Provinsi Sultra, Laode Arifin, membenarkan hal tersebut. Arifin menilai, pemerintah masih perlu memberikan perhatian yang lebih kepada UMKM.
“UMKM kita saat ini masih sulit berkembang. Salah satu penyebabnya, karena sulitnya mengakses modal. Harusnya pemerintah mampu memberikan perhatian terhadap kondisi ini,” kata Arifin saat ditemui di kediamannya di bilangan jalan Martandu, Kota Kendari, belum lama ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPD RI, Laode Ida, menegaskan, pemerintah harus mengeluarkan regulasi khusus untuk meningkatkan kualitas dan daya saing UMKM. Tujuannya, antara lain untuk memperkuat ekonomi domestik.
“Pada dasarnya, ekonomi kita secara makro tidak bisa diragukan. Tetapi sebaliknya, ekonomi mikro kita masih perlu mendapatkan perhatian khusus, utamanya pada sisi Sumber Daya Manusia (SDM),” kata Laode Ida.
Data terakhir yang dihimpun Rakyat Sultra, jumlah UMKM di Sultra saat ini hanya 11 ribu unit. Pemerintah pun, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sultra, juga membenarkan jika beberapa UMKM telah gulung tikar.
“Beberapa UMKM binaan telah behenti operasi,” kata Kepala Bidang Usaha Kecil dan Menengah Disperindag Sultra, Sapoan, meskipun tidak menyebutkan secara pasti jumlah UMKM yang telah menjadi “almarhum”.